BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar
Belakang
Beberapa
tahun terakhir ini, public dicengangkan dengan munculnya koruptor-koruptor
dengan kekayaan yang tidak masuk akal. Seperti kasus Gayus Tambunan yang
merupakan pegawai pajak golongan III/a yang dimana usianya masih tergolong muda
yaitu 31 tahun dan diketahui memiliki kekayaan Rp 100 miliar yang disimpan
dalam sejumlah rekening bank dan kotak pengaman (safe deposit box). Dan masih ada lagi kasus korpusi yang terjadi
pada pegawai muda pajak selain Gayus yang memiliki kekayaan yang lebih dari
tingkat pendapatannya. Di pengadilan, pegawai-pegawai tersebut terbukti menerima
suap dan gratifikasi dan sudah jelas perbuatannya itu telah merugikan keuangan
negara.
Di
era globalisasi ini seriring berjalannya waktu, makin banyak juga
pegawai-pegawai negara yang terkuak juga tindakannya yang telah bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan Negara Republik Indonesia ini. Seperti
bertentangan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korpusi. Sudah banyak pegawai
negara yang tidak sadar bahwa perbuatan mereka itu telah merugikan keuangan
negara dan bisa juga memakan uang rakyat. Dan sekarang ini sedang popular kasus
Irjen.Pol. Djoko Susilo dimana dia memiliki harta kekayaan yang tidak sesuai
dengan profil pendapatan resminya dan juga memiliki lebih dari 20 aset
kekayaannya, diantaranya adalah apartemen mewah, mobil mewah, tanah yang
luasnya hektaran, rumah di berbagai daerah dan lainnya. Hal ini tidak masuk
akal bila dibandingkan dengan hasil pendapatan resmi dari Djoko Susilo ini.
Dengan
semakin banyaknya pegawai dan pejabat-pejabat negara melakukan tindak pidana
korupsi, bagaimanakah menghentikan korupsi yang menggurita tersebut ? Atau
kalaupun sudah terlanjur dikorupsi, bagaimana uang itu dapat utuh dikembalikan
ke negara ? Di sinilah peranan penting dalam penegakkan hukum harus
dioptimalkan. Selama ini, koruptor umumnya hanya dijerat pada pasal-pasal dalam
UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi. UU ini sejatinya hanya efektif
untuk menghukum badan, tetapi tidak untuk memaksimalkan pengembalian uang
negara. Dengan UU ini, jaksa dan hakim paling hanya bisa menyita uang yang
benar-benar bisa dibuktikan korupsinya.
Dengan
melihat kondisi yang terjadi saat ini, aparat penegak hukum seperti kejaksaan
kepolisian serta lembaga KPK secara tegas harus menerapkan UU No 8 Tahun 2010
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap para koruptor yang semakin
membengkak. Dengan UU ini, uang yang bisa dirampas tidak hanya yang bisa
dibuktikan korupsinya oleh jaksa, tetapi juga seluruh kekayaan koruptor
sepanjang ia tidak mampu menjelaskan asal-usul uang itu. Karena hukuman penjara
sepertinya masih kurang efektif dalam menciptakan efek jera, maka harus
ditegakkannya pasal pencucian uang terhadap para koruptor. Dengan ini pentingnya
penulis menganalisa terhadap kasus Tindak Pidana Pencucian Uang yang sedang
terjadi akhir-akhir ini. Dalam makalah ini penulis akan menganalisa kasus TPPU
yang dilakukan Irjen Djoko Susilo.
I.2. Rumusan
Masalah
1. Apakah
pada kasus Djoko Susilo, Hukum Acara TPPU berlaku surut ?
2. Apakah
bisa dijatuhkan sekaligus TPPU dan Tipikor ?
3. Apakah Tindak Pidana Pencucian Uang
harus dibuktikan pidana Tipikornya terlebih dahulu ?
BAB
II
PEMBAHASAN
Kajian
Pustaka
1. Definisi Pencucian Uang
Sampai saat ini, tidak atau
belum ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai apa yang dimaksud
dengan tindak pidana pencucian uang atau money
laundering[1].
Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2002, mendefinisikan Pencucian Uang adalah
perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan
lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil
tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul
Harta Kekayaan sehingga seolah-seolah menjadi Harta Kekayaan yang sah.[2]
Pendefinisian di atas mengandung unsur-unsur sebagai
berikut :
1. Pelaku;
2. Transaksi keuangan atau alat keuangan
atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah; dan
3. Merupakan
hasil tindak pidana.
Penyebutan tindak pidana
pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2003, dimana perbuatan
melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan
atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak
pidana dinyatakan pada Pasal
2 UU No. 25 Tahun 2003 yang telah mengubah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian nantinya hasil tindakan pidana akan
merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar
harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan
ada atau terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut,
pembuktian disini bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak
pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan. Apabila
digambarkan maka unsur-unsur pokok pencucian uang adalah sebagai berikut :[3]
Pelaku => Perbuatan
Melawan Hukum (hasil tindak pidana) => menjadi Transaksi Keuangan LEGAL
2. Sifat Melawan Hukum
Menurut Prof. Moeljatno, SH.
Dalam bukunya Sifat Melawan Hukumnya Perbuatan Pidana adalah sebagai berikut,
”ada dua pendapat, yaitu pertama, apabila perbuatan tersebut telah mencocoki
larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan. Letak melawan hukunya
perbuatan sudah ternyata, dari sifat pelanggarannya ketentuan undang-undang,
kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang,
sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian demikian dinamakan pendirian yang
formil atau ajaran melawan hukum yang formil. Kedua, berpendapat bahwa kalau
semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-udang belum tentu bersifat
melawan hukum. Menurut mereka, yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja
karena disamping undang-undang (hukum yang tertulis), ada pula hukum yang tidak
tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam
masyarakat. Pendirian ini dinamakan pendirian yang materiel atau ajaran melawan
hukum yang materiel[4].”
Prof. Dr. Wirjono
Prodjodikoro, SH. Dalam bukunya mengatakan sebagai berikut, ”oenrecthmatigheid
ini juga dinamakan wederrechtlijkheid yang berarti sama. Akan tetapi, dengan
nama wederrechtlijkheid ini, adakalanya unsur ini secara tegas disebutkan dalam
perumusan ketentuan hukum pidana.” seperti dikatakan HR. Nederland tahun 1919,
yang terkenal dengan nama Lindenbaum-Cohen Arrest mengenai perkara perdata,
bahwa, ”perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige) bukan saja perbuatan yang
bertentangan dengan wet tetapi juga perbuatan yang dipandang tidak patut dalam
pergaulan masyarakat.”
3. Hukum acara (Pembuktian Terbalik)
Dalam pembuktian terbalik
beban pembuktian ada pada terdakwa. Dalam tindak pidana pencucian uang yang
harus dibuktikan adalah asal-usul harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak
pidana, misalnya bukan berasal dari korupsi, kejahatan narkotika serta
perbuatan haram lainnya. Pembuktian terbalik bukan untuk membuktikan perbuatan
pidana yang dilakukan oleh terdakwa, melainkan tujuannya adalah untuk menyita
harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana jadi bukan untuk menghukum
pelaku tindak pidana.
Dalam Pasal 35 UU No 25
Tahun 2003 diatur tentang pembuktian terbalik dengan rumusan bahwa
”Untuk kepentingan
pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.[5]
Dalam ketentuan ini memang
tidak jelas pembuktian ini apakah dalam konteks pidana untuk menghukum orang
yang bersangkutan atau untuk menyita harta kekayaan yang bersangkutan. Hukum
acara yang mengatur pembuktian terbalik ini pun belum ada, sehingga dalam
pelaksanaannya menimbulkan kesulitan.
Jika pembuktian terbalik
dilakukan untuk menghukum terdakwa, ini jelas bertentangan dengan beberapa asas
hukum pidana di Indonesia yaitu asas praduga tak bersalah (Presumption of innocence) dan non-self
incrimination. Asas praduga tak bersalah telah lama dikenal dalam hukum di
Indonesia, yang sekarang diatur dalam Pasal 8 UU No 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 18 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Asas ini intinya menyatakan setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut
karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai
dibuktikan kesalahannya secara sah dalam sidang pengadilan. Sementara itu asas non-self incrimination ditemui dalam
praktik dan dalam peraturan tertulis di Indonesia seperti dalam UU, tentang Hak
Asasi Manusia.
Asas non- self incrimination dalam sistem hukum common – law dikenal dengan istilah the privilege against self incrimination, yaitu seseorang tidak dapat
dituntut secara pidana atas dasar keterangan yang diberikannya atau dokumen
yang ditunjukkannya. Sebagai konsekuensi tersangka atau terdakwa dapat diam dan
tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Asas ini berjalan dengan
baik di negara yang menganut sistem hukum common law, akan tetapi di Indonesia
apabila terdakwa tidak menjawab pertanyaan yang diajukan, maka hal tersebut
dianggap menyulitkan jalannya persidangan hingga dapat memperberat hukum
nantinya. Karenanya terdapat kecenderungan terdakwa akan menjawab pertanyaan
yang diajukan kepadanya, hingga pada akhirnya tidak merugikan dirinya[6].
II.1. Pemenuhan
Unsur-Unsur dan Asas Retroaktif pada Kasus Tindak Pidana Pencucian uang
Pada kasus
Irjen. Djoko Susilo, bisa dijatuhkan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini
terbukti jelas karna pada kasus tersebut telah memenuhi unsur-unsur pada Tindak
Pidana Pencucian Uang, antara lain :
1. Pelaku;
2. Transaksi keuangan atau alat keuangan
atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah; dan
3. Merupakan
hasil tindak pidana.
Kita
sesuaikan unsur-unsur yang telah disebutkan terhadap kasus yang sedang dibahas.
Dimana pada kasus tersebut adanya pelaku yaitu Irjen Djoko Susilo serta pelaku
melakukan transaksi keuangan untuk menyembunyikan asal usul harta kekayaannya
dengan surat tanah mencantumkan nama-nama istrinya bukan atas nama pelaku. Dan
juga telah memenuhi unsur yang ketiga dimana pelaku memperoleh asset yang
banyak dan memiliki barang atau benda yang tergolong mahal berasal dari hasil
tindak pidana korupsi yang kemudian uang hasil pidana tersebut digunakan untuk
melakukan transaksi dalam pembelian asset-aset pelaku yang sudah disita oleh
KPK. Dengan ini sudah sangat jelas bahwa perbuatan yang telah dilakukan oleh
Irjen Djoko ini telah memenuhi unsur-unsur dari Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dengan
melihat waktu tindak pidana yang dilakukan (tempus
delicti), bahwa tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Irjen
Djoko ini berlangsung dari tahun 2003 maka timbulah pertanyaan, apakah hukum
acara TPPU berlaku surut atau retro aktif pada kasus Djoko Susilo ini ? Padahal
KPK sendiri dibentuk atau lahir karena Pasal 74 UU No 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga KPK sendiri
menggunakan UU TPPU pada tahun 2002 saat KPK belum lahir.
Di
dalam kutipan Koran Kompas, jaksa penuntut umum Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Jakarta, Kemas Abdul Roni memaparkan bahwa KPK berwenang menyidik
perkara Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap pelaku baik dalam rentang 2003
hingga Oktober 2010 maupun 2010 ke atas karena larangan asas retroaktif hanya
dikenal dalam hukum pidana materiil (substansial). Sementara dalam hukum formal
atau hukum acara untuk menegakkan hukum materiil, penggunaan asas retroaktif
tidak dilarang[7].
Dengan
demikian, walaupun kewenangan KPK menyidik
perkara Tindak Pidana Pencucian Uang baru dibahas pada UU No 8 Tahun
2010, KPK tetap bisa menggunakan asas retroaktif untuk menjerat Djoko dengan
Tindak Pidana Pencucian Uang.
II.2. Penggabungan
antara Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana Pencucian Uang
Setelah terbukti dengan
jelas bahwa KPK memiliki kewenangan untuk menyidik perkara pada kasus Djoko
ini, penulis akan menganalisa kasus TPPU pada Djoko susilo ini apakah pada
kasus tersebut, Djoko Susilo bisa dijatuhkan Tindak Pidana Korupsi secara
bersamaan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang ? dan juga apakah pada Tindak
Pidana Pencucian Uang harus dibuktikan pidana Tipikornya terlebih dahulu ? Pada
kasus Djoko Susilo, bahwa terdapat indikasi eksepsi dari Djoko yang menyatakan
bahwa KPK tidak bisa menjerat dirinya dengan pidana korupsi yang digabung
dengan Tindak Pidana Pencucian Uang karena pidana asalnya (korupsi) belum
terbukti.
Pada dasarnya,
menurut pendapat KPK bahwa pihaknya sendiri berwenang menggabungkan pidana asal
dengan tindak pidana pencucian uang karena ketika menyidik pidana asal telah
menemukan bukti yang cukup. Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang yang ditangani
KPK di mana pidana asalnya tak perlu dibuktikan dahulu adalah pencucian uang
pegawai pajak Bahasyim Assafie tahun 2010[8].
Mengungkap kasus pencucian uang, KPK akan menggunakan asas pembuktian terbalik
dimana terdakwa akan dibebani kewajiban membuktikan. Dengan demikian, bahwa
pada umumnya KPK memiliki kewenangan untuk menggabungkan pidana asal dengan
tindak pidana pencucian uang.
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Pada
kasus Irjen Djoko Susilo sudah sangat jelas bahwa kasus tersebut telah memenuhi
unsur-unsur Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga telah sesuai ketentuan pada
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dengan perubahannya Undang-Undang 25 Tahun
2003 dan juga dengan perubahan terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap
Koruptor. Dengan ini Djoko Susilo bisa dijatuhkan hukuman sesuai ketentuan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. KPK pun memiliki hak dan berwenang untuk
menyidik perkara pada kasus tersebut dan juga di kasus tersebut berlakunya asas
retroaktif atau berlaku surut pada hukum acara atau hukum formilnya.
III.2. Saran
Seyogyanya
para aparat hukum di Indonesia ini harus tegas dan tidak segan-segan mengenakan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap
para Koruptor yang semakin membengkak saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana.
Jakarta: Rineka Cipta. 2009
Syamsuddin, Aziz. Tindak Pidana
Khusus. Jakarta: Sinar Grafika. 2011
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
INTERNET
Mulyanto, SH,MH, hakim Pengadilan Negeri Semarang. http//mulyanto.blogspot.com.
diakses pada tanggal 19 Mei 2013
Unsur-Unsur Pokok Pencucian Uang. http//greatandre.blogspot.com.
diakses pada tanggal 19 Mei 2013
KORAN
AMR., 8 Mei 2013, KPK: Retroaktif
Bisa Jerat Djoko, Kompas.
[1]
Syamsuddin, Aziz. Tindak
Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika. 2011. Hal 17
[2]
Lihat UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun
2003.
[3]
Unsur-Unsur Pokok Pencucian Uang. http//greatandre.blogspot.com. diakses pada tanggal 19 Mei
2013
[4]
Moeljatno. asas-asas hukum pidana. Jakarta:rineka cipta.2009. hal.140-141
[5]
Lihat.UU no 25 tahun 2003
[6]
Mulyanto, SH,MH, hakim Pengadilan Negeri Semarang. http//mulyanto.blogspot.com. diakses pada tanggal 19 Mei
2013
[7]
Harian Kompas. Retroaktif Bisa Jerat Djoko. Hal 4.
Diterbitkan pada tanggal 8 Mei 2013
[8]
Harian Kompas. Retroaktif Bisa Jerat Djoko. Hal 4.
Diterbitkan pada tanggal 8 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar