Selasa, 08 Oktober 2013

ANALISIS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PADA KASUS DJOKO SUSILO

BAB I
PENDAHULUAN

I.1.       Latar Belakang
            Beberapa tahun terakhir ini, public dicengangkan dengan munculnya koruptor-koruptor dengan kekayaan yang tidak masuk akal. Seperti kasus Gayus Tambunan yang merupakan pegawai pajak golongan III/a yang dimana usianya masih tergolong muda yaitu 31 tahun dan diketahui memiliki kekayaan Rp 100 miliar yang disimpan dalam sejumlah rekening bank dan kotak pengaman (safe deposit box). Dan masih ada lagi kasus korpusi yang terjadi pada pegawai muda pajak selain Gayus yang memiliki kekayaan yang lebih dari tingkat pendapatannya. Di pengadilan, pegawai-pegawai tersebut terbukti menerima suap dan gratifikasi dan sudah jelas perbuatannya itu telah merugikan keuangan negara.
            Di era globalisasi ini seriring berjalannya waktu, makin banyak juga pegawai-pegawai negara yang terkuak juga tindakannya yang telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Negara Republik Indonesia ini. Seperti bertentangan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korpusi. Sudah banyak pegawai negara yang tidak sadar bahwa perbuatan mereka itu telah merugikan keuangan negara dan bisa juga memakan uang rakyat. Dan sekarang ini sedang popular kasus Irjen.Pol. Djoko Susilo dimana dia memiliki harta kekayaan yang tidak sesuai dengan profil pendapatan resminya dan juga memiliki lebih dari 20 aset kekayaannya, diantaranya adalah apartemen mewah, mobil mewah, tanah yang luasnya hektaran, rumah di berbagai daerah dan lainnya. Hal ini tidak masuk akal bila dibandingkan dengan hasil pendapatan resmi dari Djoko Susilo ini.
            Dengan semakin banyaknya pegawai dan pejabat-pejabat negara melakukan tindak pidana korupsi, bagaimanakah menghentikan korupsi yang menggurita tersebut ? Atau kalaupun sudah terlanjur dikorupsi, bagaimana uang itu dapat utuh dikembalikan ke negara ? Di sinilah peranan penting dalam penegakkan hukum harus dioptimalkan. Selama ini, koruptor umumnya hanya dijerat pada pasal-pasal dalam UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi. UU ini sejatinya hanya efektif untuk menghukum badan, tetapi tidak untuk memaksimalkan pengembalian uang negara. Dengan UU ini, jaksa dan hakim paling hanya bisa menyita uang yang benar-benar bisa dibuktikan korupsinya.
            Dengan melihat kondisi yang terjadi saat ini, aparat penegak hukum seperti kejaksaan kepolisian serta lembaga KPK secara tegas harus menerapkan UU No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap para koruptor yang semakin membengkak. Dengan UU ini, uang yang bisa dirampas tidak hanya yang bisa dibuktikan korupsinya oleh jaksa, tetapi juga seluruh kekayaan koruptor sepanjang ia tidak mampu menjelaskan asal-usul uang itu. Karena hukuman penjara sepertinya masih kurang efektif dalam menciptakan efek jera, maka harus ditegakkannya pasal pencucian uang terhadap para koruptor. Dengan ini pentingnya penulis menganalisa terhadap kasus Tindak Pidana Pencucian Uang yang sedang terjadi akhir-akhir ini. Dalam makalah ini penulis akan menganalisa kasus TPPU yang dilakukan Irjen Djoko Susilo.

I.2.       Rumusan Masalah
1.         Apakah pada kasus Djoko Susilo, Hukum Acara TPPU berlaku surut ?
2.         Apakah bisa dijatuhkan sekaligus TPPU dan Tipikor ?
3.         Apakah Tindak Pidana Pencucian Uang harus dibuktikan pidana Tipikornya terlebih dahulu ?





BAB II
PEMBAHASAN

Kajian Pustaka
1. Definisi Pencucian Uang
Sampai saat ini, tidak atau belum ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana pencucian uang atau money laundering[1]. Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2002, mendefinisikan Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-seolah menjadi Harta Kekayaan yang sah.[2]
Pendefinisian di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1.         Pelaku;
2.         Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah; dan
3.         Merupakan hasil tindak pidana.
Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2003, dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak
pidana dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003 yang telah mengubah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian nantinya hasil tindakan pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan ada atau terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut, pembuktian disini bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan. Apabila digambarkan maka unsur-unsur pokok pencucian uang adalah sebagai berikut :[3]
Pelaku => Perbuatan Melawan Hukum (hasil tindak pidana) => menjadi Transaksi Keuangan LEGAL

2. Sifat Melawan Hukum
Menurut Prof. Moeljatno, SH. Dalam bukunya Sifat Melawan Hukumnya Perbuatan Pidana adalah sebagai berikut, ”ada dua pendapat, yaitu pertama, apabila perbuatan tersebut telah mencocoki larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan. Letak melawan hukunya perbuatan sudah ternyata, dari sifat pelanggarannya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian demikian dinamakan pendirian yang formil atau ajaran melawan hukum yang formil. Kedua, berpendapat bahwa kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-udang belum tentu bersifat melawan hukum. Menurut mereka, yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja karena disamping undang-undang (hukum yang tertulis), ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian ini dinamakan pendirian yang materiel atau ajaran melawan hukum yang materiel[4].”
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH. Dalam bukunya mengatakan sebagai berikut, ”oenrecthmatigheid ini juga dinamakan wederrechtlijkheid yang berarti sama. Akan tetapi, dengan nama wederrechtlijkheid ini, adakalanya unsur ini secara tegas disebutkan dalam perumusan ketentuan hukum pidana.” seperti dikatakan HR. Nederland tahun 1919, yang terkenal dengan nama Lindenbaum-Cohen Arrest mengenai perkara perdata, bahwa, ”perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige) bukan saja perbuatan yang bertentangan dengan wet tetapi juga perbuatan yang dipandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat.”

3. Hukum acara (Pembuktian Terbalik)
Dalam pembuktian terbalik beban pembuktian ada pada terdakwa. Dalam tindak pidana pencucian uang yang harus dibuktikan adalah asal-usul harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak pidana, misalnya bukan berasal dari korupsi, kejahatan narkotika serta perbuatan haram lainnya. Pembuktian terbalik bukan untuk membuktikan perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa, melainkan tujuannya adalah untuk menyita harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana jadi bukan untuk menghukum pelaku tindak pidana.
Dalam Pasal 35 UU No 25 Tahun 2003 diatur tentang pembuktian terbalik dengan rumusan bahwa
”Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.[5]
Dalam ketentuan ini memang tidak jelas pembuktian ini apakah dalam konteks pidana untuk menghukum orang yang bersangkutan atau untuk menyita harta kekayaan yang bersangkutan. Hukum acara yang mengatur pembuktian terbalik ini pun belum ada, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan.
Jika pembuktian terbalik dilakukan untuk menghukum terdakwa, ini jelas bertentangan dengan beberapa asas hukum pidana di Indonesia yaitu asas praduga tak bersalah (Presumption of innocence) dan non-self incrimination. Asas praduga tak bersalah telah lama dikenal dalam hukum di Indonesia, yang sekarang diatur dalam Pasal 8 UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 18 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Asas ini intinya menyatakan setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam sidang pengadilan. Sementara itu asas non-self incrimination ditemui dalam praktik dan dalam peraturan tertulis di Indonesia seperti dalam UU, tentang Hak Asasi Manusia.
Asas non- self incrimination dalam sistem hukum common – law dikenal dengan istilah the privilege against self incrimination, yaitu seseorang tidak dapat dituntut secara pidana atas dasar keterangan yang diberikannya atau dokumen yang ditunjukkannya. Sebagai konsekuensi tersangka atau terdakwa dapat diam dan tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Asas ini berjalan dengan baik di negara yang menganut sistem hukum common law, akan tetapi di Indonesia apabila terdakwa tidak menjawab pertanyaan yang diajukan, maka hal tersebut dianggap menyulitkan jalannya persidangan hingga dapat memperberat hukum nantinya. Karenanya terdapat kecenderungan terdakwa akan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hingga pada akhirnya tidak merugikan dirinya[6].

II.1.     Pemenuhan Unsur-Unsur dan Asas Retroaktif pada Kasus Tindak Pidana Pencucian uang
            Pada kasus Irjen. Djoko Susilo, bisa dijatuhkan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini terbukti jelas karna pada kasus tersebut telah memenuhi unsur-unsur pada Tindak Pidana Pencucian Uang, antara lain :
1.         Pelaku;
2.         Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah; dan
3.         Merupakan hasil tindak pidana.
            Kita sesuaikan unsur-unsur yang telah disebutkan terhadap kasus yang sedang dibahas. Dimana pada kasus tersebut adanya pelaku yaitu Irjen Djoko Susilo serta pelaku melakukan transaksi keuangan untuk menyembunyikan asal usul harta kekayaannya dengan surat tanah mencantumkan nama-nama istrinya bukan atas nama pelaku. Dan juga telah memenuhi unsur yang ketiga dimana pelaku memperoleh asset yang banyak dan memiliki barang atau benda yang tergolong mahal berasal dari hasil tindak pidana korupsi yang kemudian uang hasil pidana tersebut digunakan untuk melakukan transaksi dalam pembelian asset-aset pelaku yang sudah disita oleh KPK. Dengan ini sudah sangat jelas bahwa perbuatan yang telah dilakukan oleh Irjen Djoko ini telah memenuhi unsur-unsur dari Tindak Pidana Pencucian Uang.
            Dengan melihat waktu tindak pidana yang dilakukan (tempus delicti), bahwa tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Irjen Djoko ini berlangsung dari tahun 2003 maka timbulah pertanyaan, apakah hukum acara TPPU berlaku surut atau retro aktif pada kasus Djoko Susilo ini ? Padahal KPK sendiri dibentuk atau lahir karena Pasal 74 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga KPK sendiri menggunakan UU TPPU pada tahun 2002 saat KPK belum lahir.
            Di dalam kutipan Koran Kompas, jaksa penuntut umum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemas Abdul Roni memaparkan bahwa KPK berwenang menyidik perkara Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap pelaku baik dalam rentang 2003 hingga Oktober 2010 maupun 2010 ke atas karena larangan asas retroaktif hanya dikenal dalam hukum pidana materiil (substansial). Sementara dalam hukum formal atau hukum acara untuk menegakkan hukum materiil, penggunaan asas retroaktif tidak dilarang[7].
            Dengan demikian, walaupun kewenangan KPK menyidik  perkara Tindak Pidana Pencucian Uang baru dibahas pada UU No 8 Tahun 2010, KPK tetap bisa menggunakan asas retroaktif untuk menjerat Djoko dengan Tindak Pidana Pencucian Uang.

II.2.     Penggabungan antara Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana Pencucian Uang
Setelah terbukti dengan jelas bahwa KPK memiliki kewenangan untuk menyidik perkara pada kasus Djoko ini, penulis akan menganalisa kasus TPPU pada Djoko susilo ini apakah pada kasus tersebut, Djoko Susilo bisa dijatuhkan Tindak Pidana Korupsi secara bersamaan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang ? dan juga apakah pada Tindak Pidana Pencucian Uang harus dibuktikan pidana Tipikornya terlebih dahulu ? Pada kasus Djoko Susilo, bahwa terdapat indikasi eksepsi dari Djoko yang menyatakan bahwa KPK tidak bisa menjerat dirinya dengan pidana korupsi yang digabung dengan Tindak Pidana Pencucian Uang karena pidana asalnya (korupsi) belum terbukti.
            Pada dasarnya, menurut pendapat KPK bahwa pihaknya sendiri berwenang menggabungkan pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang karena ketika menyidik pidana asal telah menemukan bukti yang cukup. Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang yang ditangani KPK di mana pidana asalnya tak perlu dibuktikan dahulu adalah pencucian uang pegawai pajak Bahasyim Assafie tahun 2010[8]. Mengungkap kasus pencucian uang, KPK akan menggunakan asas pembuktian terbalik dimana terdakwa akan dibebani kewajiban membuktikan. Dengan demikian, bahwa pada umumnya KPK memiliki kewenangan untuk menggabungkan pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang.
           



BAB III
PENUTUP

III.1.    Kesimpulan
            Pada kasus Irjen Djoko Susilo sudah sangat jelas bahwa kasus tersebut telah memenuhi unsur-unsur Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga telah sesuai ketentuan pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dengan perubahannya Undang-Undang 25 Tahun 2003 dan juga dengan perubahan terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap Koruptor. Dengan ini Djoko Susilo bisa dijatuhkan hukuman sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. KPK pun memiliki hak dan berwenang untuk menyidik perkara pada kasus tersebut dan juga di kasus tersebut berlakunya asas retroaktif atau berlaku surut pada hukum acara atau hukum formilnya.
III.2.    Saran
            Seyogyanya para aparat hukum di Indonesia ini harus tegas dan tidak segan-segan mengenakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap para Koruptor yang semakin membengkak saat ini.







DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. 2009
Syamsuddin, Aziz. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika. 2011

PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

INTERNET
Mulyanto, SH,MH, hakim Pengadilan Negeri Semarang. http//mulyanto.blogspot.com. diakses pada tanggal 19 Mei 2013
Unsur-Unsur Pokok Pencucian Uang. http//greatandre.blogspot.com. diakses pada tanggal 19 Mei 2013

KORAN
AMR., 8 Mei 2013, KPK: Retroaktif Bisa Jerat Djoko, Kompas.







[1] Syamsuddin, Aziz. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika. 2011. Hal 17
[2] Lihat UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003. 
[3] Unsur-Unsur Pokok Pencucian Uang. http//greatandre.blogspot.com. diakses pada tanggal 19 Mei 2013
[4] Moeljatno. asas-asas hukum pidana. Jakarta:rineka cipta.2009. hal.140-141
[5] Lihat.UU no 25 tahun 2003
[6] Mulyanto, SH,MH, hakim Pengadilan Negeri Semarang. http//mulyanto.blogspot.com. diakses pada tanggal 19 Mei 2013
[7] Harian Kompas. Retroaktif Bisa Jerat Djoko. Hal 4. Diterbitkan pada tanggal 8 Mei 2013
[8] Harian Kompas. Retroaktif Bisa Jerat Djoko. Hal 4. Diterbitkan pada tanggal 8 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar